31 Okt 2007

Petugas Pendaftaran di Samsat = Calo

Selama lima tahun ini, saya memiliki motor Tiger lansiran 2002 yang berplat F (Bogor). 10 Oktober 2007 merupakan tanggal terakhir masa berlakunya STNK motor saya. Karena kesibukan bekerja di Jakarta dan panjangnya libur lebaran, saya baru bisa mengurusnya pada Senin (27/10). Dengan mengambil waktu kerja dan terpaksa membolos, hari itu saya segeramengurus perpanjangan STNK di Kantor Samsat Kab Bogor di Cibinong.

Di usia motor yang kelima, ini baru kali pertama saya mengurus perpanjangan STNK sendiri. Untuk membayar pajak tahunan, biasanya saya memercayakan kepada teman untuk mengurusi pembayarannya. Namun, karena ingin tahun bagaimana rasanya mengurusi STNK sendiri, saya memutuskan untuk mengurus sendiri ke Kantor Samsat.


Sebelum memberanikan diri mengurus sendiri, saya mencari referensi tentang cara-cara pengurusan perpanjangan STNK, baik dari teman-temannya di kantor maupun dari milis otomotif saya ikutinya. Berbekal informasi itu, akhirnya saya memberanikan diri mengurusnya sendiri.


Setiba di loket pendaftaran, saya langsung disambut petugas pendaftaran. Hal ganjil pertama terjadi di sini. Ketika tahu bahwa saya akan mengurus perpanjangan STNK, si petugas yang bernama Deni dan berseragam polisi ini langsung mengambil kertas dan mengira-ngira biaya yang harus saya keluarkan sampai STNK baru jadi tanpa ada patokan harga yang sudah ditetapkan. Total saat itu, menurut perkiraannya, saya harus mengeluarkan Rp490.000. Sungguh angka yang fantantis untuk ukuran biaya perpanjangan STNK sepeda motor. Lantas, petugas itu merinci untuk apa saja uang sebesar itu. Katanya, jumlah itu sudah termasuk biaya pengesahan Rp30.000, mencari berkas Rp25.000, plat nomor Rp30.000, cek fisik Rp30.000, denda, pajak tahunan, dll. Namun, jumlah itu belum termasuk pembayaran formulir gesek mesin Rp20.000. Saya sempat surprise dengan angka sebesar itu. Sebab, berdasarkan informasi yang saya terima, biaya yang akan dikeluarkan untuk perpanjangan STNK tidak akan lebih dari Rp400 ribu, termasuk denda. Saya sempat berpikir, apakah petugas ini calo atau bukan. Tapi, saya sempat yakin bahwa petugas tersebut bukan calo karena memakai seragam dan bertugas resmi di loket pendaftaran. Namun, kayakinan saya sempat goyah karena saya sempat mendengar bisik-bisik seorang yang mengurus pajak sedang negosiasi dengan petugas lain di loket pendaftaran itu agar biaya pajak tahunannya dikurangi. Saya pun mengacuhkan bisik-bisik itu, yang penting saya mengurusnya dengan resmi kepada petugas yang ada. Selama menunggu, saya memperhatikan sekeliling kantor Samsat. Prosedur yang diberi tahu teman-teman tidak terjadi di kantor Samsat Kab Bogor ini. Biasanya, orang yang berurusan dengan kantor Samsat, mulai mengurusi pajak kendaraan bermotor, perpanjangan STNK, mutasi, dll, akan memasuki beberapa loket mulai dari pendaftaran dan berakhir di loket pembayaran. Tapi, itu semua tidak terlihat di sana. Yang saya perhatikan, pengurusan segala sesuatu sampai selesai, di-handle oleh satu orang yang bertugas di loket pembayaran itu, bahkan pembayarannya pun di lakukan di loket pendaftaran kepada si petugas yang ada. “Konsumen” tinggal duduk, menunggu dipanggil si petugas, menyelesaikan pembayaran, dan menerima STNK.


Ya, ini namanya calo, tapi calo yang menggunakan seragam petugas polisi dan kantor Samsat. Akhirnya, saya sadar bahwa saya sedang berurusan dengan calo. Nasi sudah menjadi bubur. Karena memang sudah tidak ada pilihan, lewat mereka atau tidak sama sekali. Yang saya perhatikan, sebenarnya bukan hanya saya yang menjadi korban, tapi hampir semua yang datang ke Kantor Samsat untuk mengurusi berbagai keperluannya yang berkaitan dengan Samsat.


Memang dasar calo, prosesnya pun tidak memakan waktu yang lama. Kurang dari satu jam, STNK baru sudah saya pegang. Namun, karena membawa uang pas-pasan, saya pergi dulu ke ATM untuk mengambil uang. Sebelum ke ATM, saya sempat menanyakan apakah prosesnya masih lama atau tidak. Dan, si petugas menanyakan apakah saya akan menitipkan uang pembayaran kepadanya atau tidak. Awalnya, saya percaya saja dengan hitung-hitungan yang Rp490.000 itu, sehingga saya menitipkan Rp400.000 kepadanya. Setelah dari ATM, STNK ternyata sudah tercetak. Saya lihat rincian pembayaran yang ada di STNK baru itu, ternyata total semuanya hanya tercantum Rp354.000, itu semua sudah termasuk pajak tahunan, biaya administrasi, plat nomor, dan denda. Lantas, mengapa sebelumnya hitung-hitungan sampai Rp490.000? “De, jumlah di STNK ini sudah saya kecil-kecilkan, loh,” kata petugas itu sambil merujuk rincian pembayaran yang ada di STNK baru. Tapi, saya acuhkan perkataaan itu. Yang saya tahu, saya hanya harus membayar sejumlah uang yang tertera dalam STNK. Karena sudah kepalang menitipkan uang Rp400.000, sementara uang harus dibayar Rp354.000, saya akhirnya meminta kembalian kepada si petugas itu. Namun, dia malah membentak. “Si Ade ini gimana sih, hitung-hitungan tadi’kan hanya untuk orang dalam, belum buat saya, “ katanya dengan nada sedikit tinggi. Dari situ, saya yakin 100% bahwa si petugas pendaftaran ini merangkap sebagai calo. Terjadi sedikit percekcokan antara saya dan si petugas. Karena malas berdebat, akhirnya saya mengalah. Si petugas tetap meminta agar saya memenuhi angka yang Rp490.000 itu. Saya pun mengeluarkan Rp50.000 lagi sehingga total mengeluarkan Rp450.000. Jumlah itu lebih dari cukup, gumam saya. Namun, petugas itu kembali mempertegas bahwa hitung-hitungan tadi hanya untuk orang dalam dan tetap meminta saya memenuhi perhitungan awal.


Karena malas berdebat panjang lebar, akhirnya saya mengeluarkan Rp50.000 lagi dari dompet. Total yang sudah dikeluarkan Rp500.000. Jumlah itu seharusnya tetap ada kembalian Rp10.000, tapi saya merelakan untuk si petugas itu. Apa yang terjadi selanjutnya? Si petugas berseragam polisi itu malah minta ongkos lebih. “Kok, cuma Rp10.000 doang!” Saya pun menambahkan lagi Rp10.000 meskipun saya tidak ikhlas sama sekali. Wajar ini terjadi seandainya saya berurusan dengan calo yang benar, karena orang yang saya hadapi ini adalah petugas pendaftaran resmi. Ini tidak seharusnya terjadi.


Berdasarkan pengalaman ini, saya mengimbau kepada siapa pun untuk tetap berhati-hati dalam pengurusan segala surat-surat kendaraan bermotor di Kantor Samsat. Sebab, petugas resmi pun sudah berani terang-terangan merangkap sebagai calo untuk kepentingan pribadi. Waspadalah!

2 komentar:

akhdiana mengatakan...

wah habis baca pengalamannya jadi bikin il fil mas,padahal bulan april 2010 ini tunggangan ane mesti ganti stnk yang 5 tahunan juga.
itu kejadiannya tahun 2007 ya mas, kira2 kalo skrg masih kaya gini ga mas?

Salam kenal
ian...

Anonim mengatakan...

Wah setujulah kl begitu saya pnh pajak ke daerah klaten & solo..semuanya itu ada sampai saat ini tahun 2012..mau gmn lagi emg cara cari duit mereka...tambahan buat nasi didapur x yaa..kl yg ngasih Tip g iklas paling polisi itu nanti juga kena imbal baliknya..bisa mati naas / sakit keras kali..dia / kluarganya..makan uang haram..aku aja diputer2rin dgn bnyk alasan..katanya g bisa urus seperti ini itu..padahal colonya bnyk amat...Tapi keberadaan calo juga mguntungkan bagi mereka yg g mau ribet..SPANDUK di depan kantor polisi itu g pantas terpajang..yg berbunyi uruslah sendiri jgn lewat perantara / calo..Omg Kosong...