3 Feb 2008

Belajar Sejarah Masa Lampau dari Sebuah Novel

Gajah Mada. Seorang tokoh besar dalam sejarah Majapahit yang banyak menyimpan kisah dalam sejarah Indonesia. Kini, di saat dunia kesusasteraan banyak berkutat pada kisah-kisah yang kontemporer, seorang penulis bernama Langit Kresna Hariadi, dengan sangat apik sukses mengangkat kisah Gajah Mada ke dalam sebuah novel.

Dilihat dari tebalnya buku ini, mungkin akan membuat orang sedikit berpikir untuk membacanya. Tapi, setelah dibaca, ternyata buku ini bisa menyihir pembaca untuk menuntaskannya hingga bab terakhir. Berkat kepiawaian penulis, cerita yang disajikan begitu mengalir bak air yang turun dari atas ke bawah. Penggambaran tokoh-tokoh, latar waktu dan tempat, alur cerita, dan sebagainya disampaikan dengan detail, sehingga sulit membayang betapa sulitnya si pengarang mencari referensi dan melakukan riset atas zaman yang dipilih, yang menjadi bekal dan sandaran dalam penulisan novel ini.

Pada bab-bab awal, cerita yang disajikan memang agak sedikit membosankan karena bisa dikatakan sebagai pendahuluan yang menceritakan latar belakang dengan cerita yang masih datar. Namun, memasuki bagian ketiga dan seterusnya, pembaca akan dibawa seolah-olah terlibat secara emosional dan langsung dalam jalinan cerita di dalamnya, Detail sejarah yang diramu sedemikian apik tanpa kesan menggurui seolah-olah membawa pembaca terjun langsung ke masa lampau di zaman kerajaan Majapahit pada tahun 1300-an.

Pembaca juga dibuat penasaran dengan kelanjutan cerita dalam setiap bab, karena kelanjutan apa yang akan terjadi pada cerita yang disajikan tidak bisa diterka, sehingga disayangkan jika berhenti sampai di situ. Itulah kelebihan buku terbitan Tiga Serangkai ini. Bahasa yang digunakan pengarang pun sangat lugas sehingga pembaca akan dengan mudah mencerna cerita yang disampaikan, meskipun masih banyak menggunakan kata-kata atau istilah bahasa jawa kuno untuk menguatkan alur cerita yang dibuatnya.

***

Buku ini diawali cerita keinganan para Dharmaputra Winehsuka yang berusaha menikam dari belakang dan berusaha menggulingkan pemerintahan yang dipimpin oleh Sri Raja Jayanegara. Karena ketidakpuasan dan nafsu ingin menduduki singgasana raja, mereka pun melakukan pemberontakan yang melibat kalangan lain di kerajaan. Pemberontakan ini dipimpin oleh seorang yang bernama Ra Kuti. Dengan diiming-imingi jabatan tinggi jika dia berhasil menjadi sebagai raja dengan menggulingkan Jayanegera, Ra Kuti berhasil merayu beberapa pimpinan pasukan kesatuan untuk mendukungnya melakukan tindakan makar ini. Dukungan pasukan yang kuat pun didapatkan untuk memuluskan aksi makar ini. Namun, dengan kelicikan dan keculasannnya, Ra Kuti mampu memecah belah pasukan yang ada yang tak sadar saling dibenturkan untuk kepentingannya.

Pemberontakan yang dilakukan Ra Kuti menimbulkan penderitaan luar biasa, perang menyebabkan banyak korban jiwa mati sia-sia, banyak anak yang kehilangan orang tua karena perang, banyak istri yang menjadi janda karena ditinggal mati sang suami di medan perang, dan masih banyak penderitaaan yang dialami para kawula (rakyat) Majapahit. Suasana jadi kacau balau, pemerkosaan dan penjarahan terjadi di mana-mana.

Demikian parah makar yang dilakukan Ra Kuti dan kawan-kawannya menyebabkan Jayanegara sampai terusir dari istana. Namun, masih ada pasukan tetap loyal kepada raja sehingga menjadi penyelamat Majapahit, yaitu Bhayangkara. Namun, tidak seimbangnya jumlah balatentara membuat pasukan Bhayangkara di bawah pimpinan Gajah Mada harus pontang-panting melakukan pengamanan wilayah Majapahit, dan melakukan penyelamatan untuk Sang Raja Sri Jayanegera melalui pengawalan luar biasa dengan menempuh perjalanan amat jauh menusuk hingga Badender, nun Jauh di pegunungan Kapur Utara, di pedalaman wilayah Bojonegoro.

Berhasil kaburnya Sri Jayanegara berkat pengawalan pasukan Bhayangkara, tidak serta-merta membuat Ra Kuti puas. Dia tidak akan bisa tidur nyenyak sebagai seorang raja seandainya Jayanegara belum mati di tangannnya. Selian itu, Ra Kuti khawatir seandainya Srijayangera dan pasukan Bhayangkara belum dimusnahkan, suatu saat mereka akan melancarkan serangan balik dan kembali merebut tahta kerajaan dari tangannnya. Dia pun melancarkan perburuan ke manapun pasukan Bhayangkara membawa kabur Sri Jayanegera.

Meski telah disembunyikan di berbagai tempat, bukan berarti Jayanegara dalam keadaan aman, karena ternyata terdapat dua orang telik sandi (mata-mata) yang memihak kepada Ra Kuti dalam pasukan yang dipimpin Gajah Mada tersebut, yang tak segan membocorkan segala rencana dan rahasia yang akan dilakukannya kepada pihak musuh. Namun, berkat siasat dan kecerdasannya, Gajah Mada dapat mengendus dan memberangus siapa sesungguhnya telik sandi itu.

Beruntung keadaan kacau yang diciptakan Ra Kuti dan antek-anteknya berhasil diredam. Pasukan Bhayangkara memberi sumbangsih sangat besar dalam membaerikan serangan balik yang mematikan. Teknik gerilya yang menjadi strategi pasukan Bhayangkara telah terbukti ampuh mampu membuat kocar-kacir pasukan musuh. Selain itu, satu per satu pimpinan pemberontak berhasil diberedel, dan akhirnya Ra Kuti pun mati oleh anak panah pasukan Bhayangkara yang tepat menghantam jantungnya. Namun, di antara “petinggi” pemberontak itu ada yang menyerahkan diri sehingga hanya dipenjarakan. Dia adalah Ra Tanca. Pasukan Bhayangkara sengaja tidak membunuhnya dengan pertimbangan Ra Tanca merupakan orang yang suatu saat akan dibutuhkan karena mempunyai keahlian dalam obat-obatan dan penangkal racun.

Peristiwa makar ini melambungkan Gajah mada yang hanya menyandang pangkat bekel. Tetapi, berkat keberanian dan kecerdasan otaknya, Gajah Mada mampu menyelamatkan raja dari bahaya dan mengembalikannnya ke tampuk pimpinan negara.

Di akhir kisah, setelah sembilan tahun pemberontakan itu, Sri Jayanegera meninggal dunia karena sakit yang dideritannya. Sebelum meninggal, dipanggillah Ra Tanca untuk mengobati sang raja. Yang terjadi malah sebaliknya. Karena ternyata masih menyimpan dendam terhadap sang raja, dalam pengobatan yang dilakukannya, Ra Tanca meracun sang raja dengan racun yang sangat mematikan. Gajah Mada yang saat itu berada di samping sang raja pun tak segan menancapkan kerisnya tepat di jantung Ra Tanca. Bunyi genderang Bende Kiai Samudra pun bertalu-talu dan terus dipukul tiada henti menjadi sebuah isyarat membari tahu siapa pun dan di manapun bahwa sang raja telah mangkat. Istana berduka. Sang Raja yang dicintainya rakyatnya telah wafat.....

Kelanjutan kisahnya ada dalam buku kedua: Gajah Mada, Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara.

Selamat membaca...

1 komentar:

pura majapahit pusat mengatakan...

saya ada blog juga bisa anda buka :

http://puramajapahitpusat.blogspot.com/